Senin, 31 Oktober 2011

Salah Mencinta

Karya: Norhadijah
Ragina memasang wajah cemberut sepanjang perjalanan menuju pesantren Darussalam. Matanya yang bulat kecoklatan menatap tajam ke jalan licin dan becek yang ia lewati. Sambil mengemudikan motornya, ia terus mengomel dan menggerutu karena ini adalah kali ketiga ia harus bolak balik ke pesantren itu hanya untuk mengambil bukunya, yang tak kunjung dikembalikan oleh sepupunya Syifa, yang bersekolah di pesantren itu.
Tiba-tiba Ragina terjatuh terjerambab ke tanah yang becek, motor yang dikendarainya oleng dan tergelincir. Spontan orang-orang yang ada di dekat kejadian ke arahnya. Entah apa yang sedang dipikirkan mereka ketika melihat Gina yang berusaha untuk bangun. Ia juga berusaha membangunkan motornya. Namun, tenaganya habis terkuras karena malu dan grogi. Melihat Gina yang kesulitan, seorang pria tinggi dan muda pun menghampiri dan membantunya membangunkan motornya.
“Ya udah! Santai aja” katanya ramah kepada Gina sambil tersenyum. Gina hanya bisa membalas dengan senyum malu-malu. “Kamu gak apa-apa kan?” tanyanya lagi. Gina hanya mengangguk.
“Terima kasih ya! Udah bantuin” ucap Gina sambil membersihkan bajunya yang kotor.
“Ya, sama-sama” balasnya. Kemudian gina pun berpamitan dan melanjutkan perjalanannya. Pemuda itu menatapi kepergian Gina sambil terus tersenyum.
###
“Kamu habis ngapain Gin? Kok baju sama kerudung kamu pada kotor sih?” tanya ibu Gina yang heran melihat Gina yang baru pulang.
“iya bu, tadi Gina jatuh dari motor, pas mau ke pesantren. Ih, malunya Gina bu, banyak orang di sana” jelasnya sabil mencium tangan ibunya.
“Makanya kalau bawa motor harus hati-hati” kata ibu Gina menasehati.
“Iya bu! Ya udah, Gina mau mandi dulu ya” katanya ingin berlalu pergi.
“oh ya, nanti kamu pergi kan? Maulidan di mesjid Nurul Khair desa sebelah?” Tanya ibunya lagi menghentikan langkah Gina.
“iya bu” jawabnya sambil mengangguk mantap, kemudian ia berlalu lagi masuk ke kamarnya.
Ragina sibuk merias wajahnya, juga sibuk membongkar dan mencari-cari kerudung apa yang akan ia gunakan. Setelah semuanya dicoba, akhirnya ia menetapkan pilihan pada kerudung berwarna favoritnya, yaitu biru. Kemudian ia langsung pergi ke tempat tujuan. Ketika ia sampai, acara baru saja dimulai, bait perbait lagu syair berirama nasyid mengalun syahdu dan menyatu dengan tabuhan tarbang oleh mereka yang membawakannya, karena penasaran ingin tahu siapa gerangan pemilik suara. Ia berusaha maju untuk duduk di depan. Betapa terkejutnya Gina, ketika melihat orang yang membawakan syair tersebut.
“lho, itu kan pemuda yang tadi siang!” ucapnya sendiri.
###
Tet. . . tet. . . tet. . .
Bel berdering panjang, pertanda berakhirnya pelajaran. Siswa-siswi MA Ampah menyambutnya dengan suka cita. Mereka keluar saling mendahului. Berbondong-bondong seperti tawon keluar dari sarangnya.
Ragina memacu motornya dengan santai. Lila yang duduk di boncengannya heran melihat tingkah yang seharian ini dirasanya aneh.
“Kamu kenapa Gin? Aku perhatikan kamu ngelamun aja?” ucap Lila dari belakang. Akhirnya lila buka suara.
“Ga ada apa-apa kok” jawab Gina singkat.
“Udah deh, gak usah bohong. Aku tahu kamu lagi mikirin sesuatu. Apa kamu gak mau cerita? Siapa tahu aku bisa bantu” Balas Lila.
“hmm. . . gimana ya?” Gina berfikir sejenak. ”Nanti aja deh kapan-kapan” jawab Gina lagi. Lila yang mendengar jawaban seperti itu. Merasa sedikit tidak dihargai sebagai teman. Tetapi ia juga tak mau memaksa. Mereka akhirnya berhenti di sebuah rumah yang cukup besar dengan cat warna putih.
“mau mampir dulu Gin?” Tanya Lila setelah turun dari motor Gina. Gina menggelengkan kepala tanda ia ingin melanjutkan perjalanan.
“Eit. . . tunggu!” teriak Lila, sesaat setelah Gina ingin memacu motornya. Gina pun ngerem mendadak.
“Ada apa lagi sih?” Tanya Gina cemberut.
“titip salam buat kakak kamu ya!” ucap Lila malu-malu sambil senyum cengengesan.
`”Iya!” Jawab Gina acuh. Langsung dikebutnya motornya. Jilbabnya melayang-layang diterpa angin kencang.
###
“Assalamu’alaikum” ucap Gina kekita sesampainya di rumah. Gina pun langsung masuk. “Lho, kakak ini kan?” ucap Gina terkejut ketika melihat ada seseorang di ruang tamunya.
“Kamu udah pulang ya Gin?” tiba-tiba ibu Gina datang memecah kebisuan dengan membawa sebuah nampan berisi minuman dan makanan ringan. Langsung diciumnya tangan ibunya sesaat setelah ibunya meletakkan nampan di atas meja.
“oh iya, kenalkan ini hafiz. Anak teman ibu yang di Pangkan. Dia ini juga teman kakak kamu” ucap Ibu Gina lagi, memperkenalkan orang yang sedang duduk di kursi. “ya udah, ibu mau ke belakang dulu. Kamu temani hafiz ya!” tambah ibunya. Gina hanya mengangguk. Padahal ia sedang sangat grogi sekarang. Walau begitu, sebagai tuan rumah yang baik, terpaksa ia memulai pembicaraan.
“oh, jadi kamu temannya kak Akbar ya?” ucap Gina terbata. “ eh, makasih ya, udah bantuin aku waktu itu” tambah Gina lagi.
“Iya, sama-sama. Biasa aja kok” balas Hafiz sambil mengembangkan senyuman. Mereka pun akhirnya larut dalam percakapan yang lama.
###
Mendengar cerita dari ibunya kalau Hafiz sering bertandang ke rumah dan ngobrol dengan Ragina, Akbar menjadi takut kalau-kalau Gina jatuh cinta pada Hafiz, sementara Hafiz sudah memiliki pujaan hatinya sendiri. Apalagi Gina sering bertanya perihal Hafiz. Akbar menjadi bingung, apa yang harus ia lakukan.
“Kamu lagi mikirin apa Gin?” Tanya akbar pada Gina yang terkejut dan bangun dalam ketermenungan.
“eh, kakak!” balas Gina sambil nyengir. Akbar pun menatap nanar mata adiknya, berusaha menerawang apa yang ada dalam pikiran Gina.
“Kakak tau? Sekarang aku benar-benar jatuh cinta dengan Hafiz” ucap Gina. Miris hati Akbar mendengarnya.
“Bukannya kakak tak suka. Tapi kamu harsu kubur perasaan kamu dalam-dalam perasaan kamu itu. Lagian belum tentu juga kan dia suka sama kamu. Entar sakit hati lagi” jawab Akbar sambil menasehati.
“Kakak kok ngomong seperti itu sih, harusnya kakak mendukung aku. Dan bantuin akau supaya Hafiz mau menjadi pacarku” Balas Gina kesal. Sambil berlalu masuk ke dalam kamar, akbar berdiri termangu.
###
Ragina tak mengerti mengapa kakaknya bisa berkata begitu. Tetapi ia juga lebih tak mengerti lagi pada dirinya sendiri, sudah lama kenal dengan Hafiz, namun nomor Hpnya gak punya. Tak berselang, senyum manis mengembang di wajahnya, teringat dengan kakaknya. Dengan perlahan sambil mengendap-ngendap menuju kamar Akbar, dibukanya kamar Akbar. “klek” pintu kamar terbuka. “yes, aman” ucapnya dalam hati ketika melihat di dalam tak berpenghuni. Ia pun masuk dan mulai melancarkan aksinya. Matanya mengitari seluruh sudut kamar Akbar dan kemudian terhenti di sebuah meja belajar. Mendapati hp Akbar tergeletak di sampan sebuak foto. Dengan cepat diraihnya hp kakaknya untuk mencari nama Hafiz dan menyalinnya pada hpnya.
###
Hafiz duduk termenung memikirkan kata-kata yang diucapkan Akbar. Ia heran, mengapa Akbar melarangnya bertemu dengan Gina. Dan apa maksudnya Gina memiliki perasaan yang berbeda terhadapnya. Hafiz pusing memikirkannya.
Hafiz terkejut dan terbangun dari lamunannya. Dirasanya Hpnya bergetar. Keningnya mengerut ketika melihat nomornya masih asing baginya.
“hallo, ini siapa ya?” ucapnya.
“Kak, ini Gina. Kakak di mana sekarang. Aku ingin bertemu kakak sekarang” jawab Gina tergesa-gesa.
“Aku lagi di pesantren Darussalam”
“ya udah, tunggu di sana ya. Aku mau ngomong sesuatu” Cerocos Gina.
“tapi. .” ucapan Hafis terhenti. Gina sudah memutus telponnya. Tak lama kemudian, Gina pun tiba di hadapan Hafiz.
“ada apa Gin? Kayaknya ada sesuatu yang penting sekali” Tanya hafiz. Namun tak sempat Gina membuaka mulut, terdengar suara memanggil namanya dan Hafiz. Dari kejauhan terlihat seorang gadis cantik berjilbab lari mendekatinya.
“Syifa. . .!” panggil Gina.
“kamu lagi ngapain di sini Gina? Kalian berdua sudah saling kenal ya?” Tanya Syifa heran.
“kamu juga sudah kenal ya dengan Hafiz?” giliran Gina yang balik bertanya.
“Ya iya lah, kami kan satu kampung. Dan hafiz adalah pacarku, iya kan fiz?” jelas Syifa. Hafiz hanya mengangguk. Penjelasan syifa sangat membuat hati Gina miris dan hancur berkeping-keping. Seperti sebuah kaca yang jatuh ke lantai keramik, pecah menjadi beling-beling kecil. Sakit, bagaikan beribu jarum menancap di ulu hati.
Masih diingatnya disaat teman-teman curhat perihal patah hati dan ia selalu berkata, “sabar saja!” tetapi kini baru dirasanya kata “sabar” tidak mampu menyembuhkan hati yang terluka.
Pupus sudah kini harapannya untuk bisa bersama orang yang dicintainya. Seandainya saja dulu ia mendengarkan apa kata kakaknya, pasti kejadian ini tak akan terjadi. Selum siap rasanya Gina menerima kenyataan yang memilukan ini. Sambil berusaha menahan air matanya yang sudah siap mengalir dari pelupuk mata.
“maaf ya! Aku mau pulang dulu” ucap Gina pelan.
“lho, bukannya ada yang mau kamu omongin Gina? Kok mendadak ingin pulang?” Tanya Hafiz heran.
“iya nih!” sambung Syifa.
“aku lupa, kalau aku sekarang ada janji dengan temanku. Ya udah, syifa, Hafiz, aku duluan ya?” ucap Gina berlalu dari hadapan Syifa dan Hafiz dengan setengah berlari mendekati motornya.
Gina memacu motornya dengan sangat cepat. Bulir-bulir air mata yang sedari tadi sudah bertengger di pelupuk mata kini mulai berjatuhan. Kini mengalir membasahi pipi dan jilbab yang digunakannya. Ingin sekali rasanya ia berteriak sekeras-kerasnya. Untuk memberitahukan kepada dunia akan hatinya yang hancur tak terperikan. Namun apa daya energinya telah habis dan mulutnya serasa kaku. Maka ia hanya bsia memberitahukan lewat air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Inilah akibat dari salah mencintai. Mencintai pacar dari sepupunya sendiri.

Senin, 24 Oktober 2011

pengemis

Karya: Deby
"beri hamba sedekah, O Tuhan
belum makan dari pagi
tolonglah patik, wahai Tuhan
seteguk air, sesuap nasi"

"lihatlah tuan nasib,
kami tiada sanak, tiada saudara
pakaian di badan tak terbeli
sepanjang jalan meminta-minta"

"lihatlah tuan untung kami,
pondok tiada huma tiada
bermandi hujan, berpanas hari
di tengah jalan terlunta-lunta"

"bukan salah bunda mengandung
buruk suratan tangan sendiri
sudah nasib, sudah untung hidup
malang dari hari ke hari"

"O, Tuhan
jangan kami dicibirkan
jika sedekah tidak diberi
cukup sudah sengsara badan
jangan lagi ditusuk hati"

Sisa ‘Orde Baru’ di Kampungku

Karya: Wahyu Sp.
“praakk” terdengar suara ranting yang patah di belakangku, segera aku menoleh, namun tak ada siapa-siapa, hanya membentang jalan setapak meliuk-liuk, yang disisinya berumpun-rumpun batang buluh dan barisan pohon karet. Tiba-tiba saja aku merinding, angin dingin merayapi tubuhku, seperti ada makhluk halus yang lewat di belakangku. Aku menjadi sangat takut. Kulanjutkan jalanku, kudengar suara langkah mengikuti dari belakang. Segera kutoleh, namun masih tak ada siapa-siapa. Aku mempercepat langkahku. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini, maka aku ingin segera keluar dari hutan ini.
Ketika langkahku mulai kuperlambat kembali, sesudah merasa tak apa-apa. “bbuuukk” tiba-tiba ada yang memukulku dari belakang. ketika menoleh, “buukk” langsung perutku yang ditinju. Aku langsung roboh menahan sakit, kudekap perutku dengan tangan. Tanpa memberi ampun, kembali kerah bajuku ditarik untuk menyuruhku berdiri kembali. Aku masih meringis kesakitan, namun kupaksakan untuk berdiri. Langsung kedua tanganku ditahan dibelakang, supaya aku tak bisa melawan. Kubuka mataku lebar-lebar, kembali leher bajuku ditarik. Mulai aku mengenali siapa yang telah memukulku, ternyata Parmin yang menarik leherku dan Boy yang menahan tanganku di belakang. Mereka adalah preman di kampungku.
“Oi, apa-apaan nih buhan ikam?” ucapku refleks. Aku mencoba untuk berontak, namun tak bisa. Boy sangat kuat menahanku. “Parmin, apa salahku sampai buhan ikam mamukuli aku kaya ini?” lanjutku lagi. “bukkk” kembali perutku menjadi sasaran tinju. Aku hanya bisa meringis, dan tak bisa berbuat apa-apa. Kubungkukkan tubuhku untuk menahan perih di perut.
“ikam sudah manyupanakan Pa camat di hadapan masyarakat, jadi ikam harus manarima balasannya” cerocos Boy dari belakang, padahal aku mengajukan pertanyaan untuk Parmin. “manyupanakan Pa camat?” gerutu hatiku, aku langsung teringat apa yang telah kulakukan pagi kemaren.
“kaina, ikam jangan lagi malawan Pa camat! Lamun handak hidup, dangari pandirku! jangan coba-coba ikam malapor ka polisi, jangan salahkan kami bila kami langsung mambunuh ikam” sambung Parmin.
“sumalam tu aku mambela yang bujur, kanapa maka jadi dipukuli kaya ini. Salahkah aku, bila aku barusaha untuk mancari keadilan?” jawabku sambil meringis kesakitan, aku mencoba untuk membela diri.
“Diam! Kada usah malawan!” hardik Boy dari belakangku. Suaranya menyengat telingaku, membuat nyaliku semakin menciut. Dipelintirnya tanganku dari belakang.
“aw, aw. Ampun Boy! Sakit!” ringisku, sambil berharap Boy untuk melepas tanganku.
“memang ikam kada salah, hanya ucapan dan cara ikam yang salah. Coba ikam badiam haja, kada usah umpat campur urusan urang. Sabujurnya kami kada handak jua manyakiti ikam” jawab Parmin dengan santai, sambil menarik leher bajuku lebih kuat sehingga membuatku sulit bernafas. Aku hanya diam, tak berani untuk berucap, tinju akan jadi balasan bila aku salah bicara.
“kami harap, ikam kaina bisa labih manjaga pamandiran. Jangan sampai manyupanakan Pa camat lagi. Urus, urusan ikam saurang haja, jangan umpat campur urusan urang” sambung Parmin lagi, tangannya masih tak lepas dari leher bajuku. Aku hanya bisa manggut-manggut saja, dan dengan segera mereka melepaskan aku. Langsung kumenghela nafas. Namun, ketika akan meninggalkanku, Boy masih sempat menyodorkan telunjuknya ke arahku, lalu dengan lototan mata yang tajam diarahkannya telunjuknya memenggal lehernya, mengisyaratkan bahwa aku akan mereka musnahkan andaikan aku mengulanginya.
Aku duduk bersandarkan pohon karet, sambil meringis kesakitan aku mencoba untuk berdiri sambil berpegangan dengan batang karet, namun tak bisa. Badanku terasa remuk redam, kuputuskan untuk istirahat di sini sejenak. Kududuk di atas akar, nyamuk berterbangan untuk menghinggapi tanganku, dengan sisa-sisa kekuatanku kupencet tubuhnya hingga remuk. Dengan nafas yang tak teratur kucoba untuk menenangkan diri. Membentang cercahan cahaya yang masuk dari celah dedaunan yang rimbun. Kuhirup udara segar sedalam-dalamnya, berharap oksigen yang banyak akan bisa mengurangi rasa sakitku. Kupejamkan mataku, menenangkan jiwa yang sedang panik. Mencoba mendengarkan suara alam, dari kejauahan kudengar suara monyet yang sedang bersahutan, mungkin mereka sedang berebut makanan. Memang mereka adalah makhluk yang serakah. Tepat dari atasku kudengarkan suara burung, mendayu-dayu merdu bersahutan dengan suara belalang. Hatiku mulai merasa tenang, berusaha untuk melupakan kejadian hari ini, walau perih di perut masih terasa. Paling tidak hari ini aku mendapat pelajaran untuk lebih bijak dalam menggunakan lidahku.
###
Aku duduk di halaman rumahku, berayun dibawah pohon rambutan yang rindang, menikmati udara segar di pagi hari. Dari ujung jalan, kulihat Paman Pentol membunyikan terompetnya sambil mengayuh sepeda, tentunya dengan bunyi yang khas, berharap orang-orang keluar rumah dan membeli pentolnya. Di seberang rumahku, Iki menangis minta ibunya untuk membelikan pentol, tak berapa lama ibunya keluar, dengan memakai baju daster yang bawahannya disingkap hingga lutut, sepertinya ibu Iki tadi sedang mencuci. Memang enak menjadi anak-anak, apa lagi masih berumur tiga tahun seperti Iki, ingin makan pentol cukup dengan rengekan dan tangisan, maka dijamin tanpa bim salabim, pentol akan siap saji di hadapan dalam waktu kurang dari dua menit.
Hari ini aku akan mengikuti acara sosialisasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap 2 yang akan dilaksanakan pertengahan bulan ini, yang diadakan di Aula Kantor Kecamatan Banua Lawas. Kulirik jam tanganku, sudah menunjukkan jam 9 kurang 15 menit. Aku segera masuk kerumah untuk bersiap-siap, kupakai batik terbaikku. Setelah memastikan bahwa aku sudah rapi, aku berjalan keluar. Ternyata Heri, teman akrabku juga sedang berjalan menuju kantor Kecamatan. Dengan setengah berlari segera kuhampiri Heri. Kami pergi cukup dengan berjalan kaki, karena jarak dari rumahku ke kantor Kecamatan hanya 100 meter.
Matahari mulai merangkak ke atas, memanjat dinding langit. Sinarnya mulai menyengat tubuhku. Segerombolan Kopasus itik sedang berbaris rapi di tepi jalan, dengan dikomandoi seekor di depan, mereka bersiap untuk menyerbu kolam yang berada tepat di depan pagar kantor Kecamatan. Dalam hal kekompakan, bisa diakui itik adalah binatang yang sangat kompak, mereka selalu terlihat berbaris memanjang dengan satu komando, namun ketika dapat makanan maka sikap egoismenya akan muncul, mereka tak akan mau untuk berbagi kepada temannya, maka tak dapat dihindari lagi, mereka akan saling berebut. Memang binatang selalu serakah. Itu hal yang wajar karena mereka hanya dilengkapi oleh hawa nafsu dan tak dengan akal.
Ku terus berjalan untuk memasuki aula. Namun terjadi ironi, ternyata ruangannya masih berantakan dan belum siap untuk mengadakan rapat. Aku menjadi bingung, padahal warga sudah banyak yang datang dan jam pun sudah menunjukkan jam 9. Seharusnya sekarang rapat sudah dimulai. Sebenarnya apa yang dilakukan para pegawai kecamatan? Sungguh memalukan. Jam karet memang sudah menjadi penyakit kronis yang telah menggrogoti aparatur Negara. Hal yang menjadi contoh buruk untuk masyarakat umum. Aku duduk di teras kantor, terlihat para pegawai baru mulai menyiapkan ruangan dan merapikan kursi. Warga yang lain sedang sibuk membicarakan perkembangan kasus teroris yang sedang hangat di tv. Aku hanya diam, mengamati tulisan-tulisan yang tergantung di dinding. Di hadapanku tertulis Misi kantor kecamatan, yaitu “meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat”. Aku berharap, semoga misi itu benar-benar berjalan, amin.
Ketika kulirik jam tanganku, ternyata sudah hampir jam setengah 10. Berarti sudah hampir setengah jam jadwal rapat molor. Tak berselang, kami dipersilahkan masuk ke dalam aula dan rapat pun segera dimulai. Pak camat berdiri di depan untuk memimpin rapat dan berpidato panjang lebar. Aku menemukan kejanggalan ketika melihat daftar penerima BLT, di sana tak tercantum nama Nenek Aisyah yang tinggal di dalam hutan Bungin. Padahal beliau harus menerima bantuan ini. Dan yang makin aneh, banyak nama-nama penerima BLT yang justru orang mampu, bahkan ada yang punya tiga buah sepeda motor. Ironinya nama-nama itu dikenal dekat dengan pak camat. Aku menjadi curiga, bahwa telah terjadi kongkalikong di sini. Aku pun berusaha mencari kejelasan.
“pak, saya menemukan kejanggalan pada daftar ini” ucapku.” Mengapa nama nenek Aisyah tak tercantum di sini pak? Padahal beliau sangat miskin dan sekarang hanya hidup sebatang kara” lanjutku lagi.
“nenek Aisyah tidak masuk daftar penerima karena tidak mempunyai surat yang lengkap seperti KTP dan kartu keluarga, sehingga beliau tidak bisa menerima BLT ini” jawab Pak camat ringkas. Aku mengerutkan keningku, peraturan yang aneh.
“apakah tidak ada pengecualian? Seharusnya bapak bisa lebih bijak, dan mempertimbangkan kelayakan nenek Aisyah” balasku.” Apakah bapak tidak kasian kepada beliau? Beliau sudah hampir 3 tahun ditinggal mati suaminya. Sekarang beliau hanya tinggal sendiri karena tak punya anak”
“menurut peraturan sudah seperti itu, jadi saya tak bisa berbuat apa-apa. Peraturan tetaplah peraturan !” Kilah Pak camat. Aku menjadi semakin geram dengan sikap pak camat yang kelihatannya sangat tidak respek.
“saya mohon, bapak mempertimbangkan sekali lagi. Agar nenek Aisyah bisa menerima BLT ini”ucapku. aku berusaha untuk menahan emosiku
“tetap tidak bisa! Keputusan saya sudah final” timpal pak camat lagi. Kesabaranku pun habis, maka perdebatan ini akan menjadi semakin sengit.
“bapak memang tidak punya hati nurani” balasku. “namun apakah bapak bisa menjelaskan. Mengapa pak Adul dan pak Amat masuk daftar penerima BLT. Padahal mereka tergolong orang yang mampu. Apakah karena mereka dekat dengan bapak?” timpalku lagi. Pak camat tak dapat menjawab pertanyaanku, ia hanya diam. Mungkin sedang mati kutu karena kebusukannya telah kubongkar.
“kenapa bapak diam?” ucapku sengit. “tak bisa menjawab kan? Bapak memang tak adil. Hanya mementingkan kelompok sendiri”
“dangsanak sabarataan! Hakunlah buhan pian dipimpin oleh pamimpin nang kaya ini? Nang harat mamanfaatkan jabatannya sakahandak hati. Kada suah mamikirkan kahidupan warga nang kada mampu. Pamimpin kaya ini lah nang kita kahandaki, dangsanak?” seruku pada seluruh peserta rapat. Wajah pak camat memerah, kelihatan sekali dia sangat marah dengan pernyataanku.
“dengan penuh rasa hormat, saya harap Bapak mundur dari kursi camat Banua Lawas. Saya kira Bapak sudah gagal untuk mengurus masyarakat di daerah ini” timpalku. “bujur kada, dangsanak?” seruku lagi pada sesama warga.
“bujur!” seru hadirin diseluruh ruangan, mungkin mereka sebenarnya sudah lama geram dengan pak camat, hanya mereka masih tak berani sehingga tak ada suara perlawanan yang keluar dari mereka. Karena aku telah memulainya, maka mereka akan mendukungku. Tepuk tangan pun bergemuruh untuk mendukungku. Aku pun segera keluar, karena tidak ada gunanya untuk tetap di sini. Pak camat tetap dengan pendapatnya. Sikapku diikuti oleh semua warga yang hadir. Dengan kepala tegak aku meningggalkan aula kantor kecamatan, dengan diikuti oleh warga yang lain. Maka dapat kuartikan aku pulang dengan membawa bendera kemenangan.
Aku sangat merasa puas, karena sudah bisa membantu menegakkan keadilan di masyarakat. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk mengkritisi pemerintah, agar sistem pemerintahan lebih efektif dan keputusan-keputusannya berpihak kepada masyarakat kecil. Namun celakanya, Pak camat tak terima dengan perlakuanku. Aku telah merenggut kehormatannya, dan mencabik-cabik harga dirinya dengan cakar lidahku yang tajam. Ia sudah mencap namaku sebagai target untuk balas dendam. Namaku akan selalu terpajang sebagai nama musuh yang secepatnya dimusnahkan. Akibatnya fatal, Aku terus diteror oleh preman. Keamananku pun terancam. Seperti yang terjadi pada sore ini. Aku dihajar oleh Parmin dan Boy.
###
Kutumpukan tanganku pada pohon karet. Sepertinya tenagaku mulai pulih. Dengan tertatih-tatih aku berjalan menyusuri hutan untuk pulang ke rumah. Perutku masih terasa perih, belakangku pun masih terasa sakit akibat dipukul oleh Boy tadi. Kuayunkan langkahku dengan perlahan, untungnya mereka tidak memukul kakiku sehingga aku masih bisa berjalan dengan baik. Rona warna merah mulai membauri langit. Matahari mulai merangkak turun untuk menjemput sang rembulan yang sedang tertidur. Suara burung semakai ramai bersahutan. Akhirnya aku sampai di rumah, aku langsung duduk diteras rumahku untuk merenungi apa yang telah terjadi kepadaku. Ternyata sangat sulit untuk membela kebenaran, apalagi untuk melawan pemerintah, banyak halangan yang akan menghadang. Banyaknya terjadi kongkalikong dalam tubuh pemerintahan, membuat kritikan dari luar akan selalu mereka lawan. Mungkin seperti ini yang terjadi pada para pejuang keadilan di masa orde baru, mereka akan segera diancam apabila mengkritiki pemerintah. Era reformasi dan demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat dan mengkritik kinerja pemerintah, ternyata tak menjamin untuk kebebasan dalam menyuarakan suara rakyat. Namun tak bisa dipungkiri usia reformasi yang masih muda membuat masih adanya sisa-sisa orde baru. Aku juga bisa belajar agar lebih beradap dalam mengkritik, kritikan yang pedas tentunya tak akan membuat suasana menjadi lebih baik, justru akan memperkeruh masalah.

Rabu, 20 Juli 2011

Melukis Pelangi di Awan Kelabu

Karya: Wahyu Sp.

Anak-anak angin merayapi tubuhku, sejuk mendesaki keringatku yang membasahi pori-pori. Membuatku tetap betah, walau terik matahari sedikit tak bersahabat. Aku bersiap untuk melakukan tendangan superku. Di seberangku berdiri seorang bocah yang juga bermandikan keringat, memasang kuda-kuda, bersiap untuk menghadang tendanganku. Kutatap tajam matanya, dia membalas tatapanku dengan tak kalah tajamnya, seperti seekor elang yang siap memangsa anak ayam. Kulirik sisi kanan dan kirinya, mencari sasaran tembak yang pas, yang tak dapat dijangkaunya. Segera ku mengambil momentum, kutendang bola di hadapanku dengan segenap kemampuanku. Bola itu pun membelah angin, deras melambung tinggi. Sepertinya akan melampaui mistar, senyum merona dari bocah itu. Namun tiba-tiba bola tersebut menukik, senyumnya langsung sirna. Ia mulai panik, tatapannya kembali tajam ke bola yang mengarah ke sudut kanan atas gawangnya. Kukembangkan senyumku, aku yakin ia tak akan bisa menjangkau bolaku. Ia tak terima, langsung ia terbang menepis bolaku. Bolaku pun melambung keluar. Aku kecewa, kusapu wajahku. Ia bangun, tersungging sebuah senyuman kemenangan darinya. Ini adalah percobaanku yang ke 20, dan tetap saja gagal. Sungguh aku kecewa sekaligus bangga terhadap temanku yang sedang tersenyum itu.
“hebat sekali tendanganmu itu kawan!” teriaknya membesarkan hatiku. “Namun sayang, tendanganmu itu masih kalah hebat denganku, ha ha ha” lanjutnya lagi dengan lagak narsis. Aku hanya tertunduk lesu, tak berdaya. Sebenarnya telah ku kerahkan seluruh kemampuanku, namun hasilnya tetap saja nihil. Memang ku akui temanku yang satu ini memiliki bakat yang sungguh luar biasa, apalagi ditambah oleh keuletannya untuk latihan. Maka aku yakin ia akan menjadi kipper yang hebat kelak.
Amat, nama yang sebenarnya sangat umum. Bahkan bisa dibilang nama yang pasaran, layaknya udin. Namun siapa tahu, dari nama yang pasaran itu Tuhan telah menganugerahinya sebuah bakat yang sangat tidak pasaran, yang bisa membuat dirinya terkenal. Tak ada yang istimewa dari bentuk fisiknya. Memiliki tubuh yang agak pendek, dan kurus. Andaikan tes untuk menjadi kipper dilihat dari postur tubuh, maka aku yakin haqqul yakin, Amat tak akan lolos dan terkuburlah bakatnya. Namun beruntung baginya karena penilaian selalu dilihat dari kemampuan, dan ia memiliki spesifikasi untuk itu. Ia bergerak sangat lincah, tak pernah ragu untuk menerjang seperti macan, terbang tinggi dan lompatannya itu juga sangat menawan.
Matahari kembali berancang-ancang untuk turun, namun ia masih galak. Tak dikuranginya panasnya hari. Aku sudah tak tahan lagi, dahaga mulai rayapi tenggorokanku. Aku menyerah pada Amat, ku ajak ia untuk pulang. Namun ia mengelak. Amat masih ingin latihan, kelihatan sekali ia masih sangat bersemangat. Namun sekali lagi kurayu dia untuk mengajak pulang, segala upayaku kuperlihatkan. Sampai pura-pura akan pingsan, karena saking dehidrasinya aku setelah main bola sore ini. Aku tak pernah kurang akal, maka ia pun luluh. Kami pun pulang bersama-sama.
###
Malam menyelimuti. Bintang malu-malu bergelantungan di angkasa. Bulan tetap anggun, namun tetap bersembunyi malu, hanya sedikit yang ditampakkannya. Tak kutahu apa yang sedang dilakukannya. Apakah sedang main petak umpet dengan bumi? Sungguh jiwa yang selalu bergembira. Aku terlena duduk diteras rumahku. Menikmati sebuah pertunjukan seni dari langit.
Rumah Amat bersebelahan dengan rumahku. Ketika aku santai duduk sendirian, tiba-tiba Amat menghampiriku. Sepertinya Abah dan mamanya masih belum pulang dari Amuntai, sehingga ia kesepian di rumah. Ia tersenyum melihatku, kubalas senyumnya. Kutatap raut wajah sahabat karibku yang satu ini, tak ada yang istimewa. Kasian malah sebenarnya, Amat terlihat seperti anak tak terurus. Walau kutahu sebenarnya ibunya sudah mati-matian agar Amat bisa terlihat bersih, namun Amat memang tak mau diurus. Akibatnya, ia terlihat selalu kotor. Seperti yang terlihat sekarang, ku yakin ia sudah mandi, itu terlihat dari rambutnya yang masih agak basah. Tetapi dilehernya itu, masih penuh dengan daki, hitam. Aku bingung, bagaimana sebenarnya cara ia mandi, apa saja yang dibersihkannya? Mungkin baginya mandi itu asal basah saja dan aku yakin pakai sabun pun ia sering lupa. Karena sering kucium setelah ia mandi, tak ada bau harum sabun sedikit pun. Namun yang selalu menjadi daya tarik Amat adalah matanya yang jernih, ia seperti tak ada dalam tubuhnya sendiri. Sepertinya yang dilihatnya adalah benda yang jauh, dan tak kasat mata. lirikannya selalu menjanjikan sesuatu yang indah, hebat dan menantang. Dan itulah yang selalu membuatku betah berada di dekatnya.
Kami tetap diam memandangi malam, aku terbang dalam pikiranku dan aku yakin Amat juga begitu. Setelah lama kami berkelana dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Amat menghadapkan badannya ke hadapku, dan “Praaaankkkk” vas bunga jatuh dan pecah, Amat tak sengaja menyenggolnya. Ia langsung memunguti pecahan-pecahan vas bunga itu.
“maaf yu! Aku gak sengaja” ucapnya. Kelihatannya ia merasa sangat bersalah.
“iya, gak apa-apa kok”balasku. “Tapi kenapa kau sampai ceroboh seperti itu, lalu mendadak menghadapku, seperti ada sesuatu yang ingin segera kau ucapkan. Kau kerasukan setan ya?” candaku.
“iya, tadi aku ingat sesuatu dan ingin memberitahukannya padamu. Tapi sekarang lupa lagi, hehe” selorohnya. Suasana menjadi cair kembali. Ia pun tersenyum, kubalas dengas tertawa. Menertawakan kecerobohannya.
Aku pun membantu Amat untuk membereskannya, kusapu pecahan-pecahan yang kecil supaya tak akan terinjak. Ketika kami sedang asik, tiba-tiba saja sebuah motor secara mendadak berhenti di depan rumah Amat. Orang tersebut kulihat sangat panik, dan segera memanggil nama Amat. Aku mencium ada sesuatu yang buruk terjadi. Merasa dirinya dipanggil, Amat langsung menghampiri orang itu. Aku hanya diam, sapu masih tak lepas dari tanganku. Aku berusaha untuk mendengar apa yang dibicarakan mereka.
“abah dan mama kau kecelakaan di Rodok, mat! Cepat kau ikut aku!” ucap orang itu dengan tergesa-gesa. Aku tak melihat wajahnya, gelap.
“Wahyu! Cepat kau ikut juga, sini duduk dibelakangku!” teriak Amat padaku. Langsung kulepas sapuku. Kuberlari menghampiri Amat dan naik motor. Dengan sekejap kami melaju membelah angin. Aku menjadi sangat takut, orang ini melaju sangat kencang. Aku takut kalau kami juga akan mengalami kecelakaan. Aku sungguh takut mati. Maka kupejamkan mataku, sembari berharap kami selamat dan cepat sampai ke tujuan.
Sirene ambulan meraung-raung. Bulu kudukku seketika berdiri, membayangkan apa yang terjadi. Ambulan itu seperti melintasi kami. Kencang, meraung dan menjauh. Mulai kubuka mataku, di depanku sangat ramai, terlihat para anggota kepolisian menginvestigasi TKP. Police Line membentang mengelilingi Truk dan sebuah Motor Jupiter Z berwarna merah yang sudah tak berbentuk lagi. Sepertinya terjadi tabrakan yang sangat dahsyat. Tiba-tiba saja motor kami memutar mendadak, aku hampir saja jatuh. Kami kembali melaju kencang sempat kutoleh lagi ke belakang, sinar merah melambai-lambai, seperti mengucapkan selamat jalan, tapi tak kutahu ditujukan untuk siapa. Orang-orang tetap hiruk-pikuk sibuk dengan urusannya masing-masing.
Kupegang tangan Amat. Dingin. Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di hati sahabat karibku ini. Aku yakin ia sangat terpukul dengan kejadian ini. Perasaannya pun tentu sangat sedih. Semua orang pasti akan sedih ketika orang terdekatnya kecelakaan. Hanya orang yang tak punya hati yang tak bersedih. Tak terasa aku pun meneteskan air mata. kupeluk Amat dari belakang, aku ingin menguatkannya. Menjadi orang yang pertama kali menghiburnya.
Kami melayang, terbang membelah kota Ampah, kencang sekali. Tak kutahu ke manakah tujuan kami selanjutnya. Kami sampai di bundaran tengah kota dan kami melayang ke kiri. Sekarang kutahu kemana tujuan kami, Rumah sakit Ampah. Dengan sekejap kami berhenti tiba-tiba. Orang yang membawa kami langsung lari, Amat pun lari mengikutinya, dan sebagai teman yang setia dunia akhirat, aku juga ikut lari. Tepat di depan ruang Unit Gawat Darurat (UGD) orang itu berhenti. Sekarang aku mulai bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena lampu di rumah sakit sangat putih terang. Itu adalah kak Udin, saudara sepupu Amat yang tinggal di Rangen. Terlihat jelas wajah kak Udin pucat pasi, panik, khawatir. Aku duduk di kursi, menunduk dan berdoa untuk keselamatan orang tua Amat. Amat masih dingin, ia hanya diam—tak berkata-kata. Ia tersandar di dinding depan ruang UGD, di samping pintu. Aku yakin, ia sedang menunggu kabar dari dalam. Ia ingin menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Kutatap nanar wajah sahabatku itu, pias memutih, matanya menerawang menuju sebuah alam yang sungguh berbeda, tubuhnya beku—diam tak bergerak dan hatinya pun pasti sedang membeku.
Tepat di ujung lorong, jam dinding terus berputar. Angkuh, tak perduli apa yang terjadi dengan sekitarnya. Ia tetap berputar sekehendak hatinya. Kami tetap menunggu, menunggu sebuah kabar dari ruangan berada di depan kami. Semua bungkam, diam tanpa kata. Aku tetap menunduk, menahan rasa kantuk yang mulai menyerangku. Kadang kubuka mataku, dan kutoleh kesampingku, Amat sedang duduk tegang. Matanya tajam menghadap ke depan, tak sedikit pun berkedip. Ia mungkin sedang kebal dengan rasa kantuk namun tidak denganku. Maka segera kupejamkan lagi mataku, mencoba untuk tidur walau sekejap.
Ketika semuanya masih serba gelap, tiba-tiba terdengar suara rengekan pintu. Maka segera kubuka mataku. Terlihat seorang pemuda gagah yang memakai pakaian serba putih, memiliki wajah yang tampan. Aku yakin pasien wanita pasti akan lekas sembuh bila ditangani oleh dokter yang satu ini, tapi juga aku lebih yakin wanita itu akan mengulur-ulur waktu untuk pulang ke rumah walaupun penyakitnya sudah sembuh dua ratus persen. Namun, kali ini ia menampakkan wajah yang putus asa, sedih dan juga rasa bersalah. Sebuah tanda bahwa berita buruk segera akan kami terima. Amat segera menghampiri dokter itu. Aku juga mengikutinya di belakang.
“ma’afkan saya dik, saya sudah berusaha semampu saya. Namun sayang, kedua orang tua adik tak bisa tertolong, karena mengalami pendarahan yang sangat parah” ucap dokter itu dengan kepala tertunduk lesu. Ia sepertinya malu untuk menatap mata Amat, tak pantas sebenarnya ia menyalahkan dirinya sendiri. Melihat keringat yang masih tersisa di dahinya. Aku yakin ia telah berusaha sekuat tenaganya, demi menyelamatkan nyawa orang tua Amat. Namun Tuhan berkehendak lain, maka semua tak bisa berbuat apa-apa.
Setelah mendengar ucapan dari dokter itu. Amat segera lari, masuk untuk menemui kedua orang tuanya yang telah meninggalkan dunia yang fana ini. Aku juga ikut masuk. Dari depan pintu kulihat Amat sedang meneteskan airmata di depan mamanya. Berdiri tegak, tak bersuara. Air mata itu mengalir perlahan menembus pipinya dan jatuh ke lantai. Aku pun berhenti, tak melanjutkan langkahku. Aku tak tega melihat sahabatku menangis. Airmataku pun ikut menetes, kulanjutkan jalanku. Kudekati Amat dan kupeluk bahunya. Kugoyang-goyang tubuhnya. Aku ingin menguatkannya. Kemudian ia berpaling, menghadap abahnya. Tetap diam, airmatanya terus mengalir.
###
Matahari gelap, namun tak turun hujan, angin pun tak ada. Orang-orang lewat di depanku, namun hatiku tetap sepi. Aku masih sedih, merasakan apa yang Amat rasakan sekarang. Tentu ia sangat terpukul, ia harus menanggung kehilangan orang tuanya dalam umur 11 tahun. Ketika ia baru duduk di kelas 5 SD. Sungguh aku sangat iba kepadanya.
Ketika aku masih terbuai dalam lamunanku, tiba-tiba ada tangan yang menarik tanganku. Aku langsung sadar, ternyata Amat telah berdiri di hadapanku. Aku heran, ia memakai baju bola, di tangan kirinya dibawanya sarung tangan kipper dan bola dijepitnya dipinggang. Kulihat kakinya, ternyata ia juga telah memakai sepatu. Yang membuatku jadi tambah heran, sebuah senyum mengambang dari wajahnya.
“ayo kita latihan bola di lapangan!” ajaknya, aku masih mematung. Namun tanpa banyak kata, aku pun langsung masuk ke dalam rumah untuk ganti baju dan memakai sepatu. Kami langsung berjalan menuju lapangan bola. Sempat kutoleh kebelakang. Orang-orang semakin ramai saja berdatangan untuk melayat. Di depan rumahku, abahku sedang sibuk menggergaji papan, yang lain ada yang sibuk mengukur dan memaku, mereka sedang membuat peti mati untuk orang tua Amat.
###
Aku menatap tajam bola di hadapanku. Ku ambil momentum untuk mengambil tendangan sekeras-kerasnya. Aku sangat membenci senyum sinis yang sedang mengambang di hadapanku. Ini adalah pertarungan harga diriku, ia telah mencabik-cabiknya. Maka akan kubalas dengan segala kemampuanku. Kutatap juga matanya, namun ia hanya membalasku dengan santai. Segera ku tendang bolaku dengan sisi luar kaki kananku. Bola itu pun melesat menuju sudut kanan gawangnya, namun ditengah-tengah tiba-tiba membelok ke sudut kiri gawangnya. Ia sempat terkecoh, namun ia segera mengambil ancang-ancang untuk berbalik terbang, di tepisnya bolaku, dan melayang keluar. Sepertinya aku tidak akan bisa menembus gawangnya, kami telah melakukannya sejam lebih namun tak satu pun bolaku masuk. Maka aku sudah lelah, aku pun duduk. Kuhirup udara sekuat-kuatnya, sangat segar.
“oy, segitu aja kok nyerah” teriaknya.”kau sangat payah” tambahnya lagi. Aku hanya diam, sungguh aku sudah tak sanggup lagi, Amat tetap dengan senyumnya. Ia berjalan menghampiriku dan langsung duduk di sebelahku.
“mengapa kau sangat semangat hari ini? Padahal baru saja orang tua kau meninggal, bahkan hari ini kau tak ikut mengubur mereka. Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?” tanyaku. Mataku hanya memandang ke langit.
“aku hanya tak ingin larut dalam kesedihan, maka kutinggalkan mereka. Mungkin ini sedikit tak beradap. Namun bagiku, ini jalan satu-satunya bagiku” ucapnya. Aku sangat kagum kepada sahabatku yang satu ini. Ia memiliki jiwa yang sangat kuat.
“abahku sewaktu kecil memiiki impian ingin lagu ‘Indonesia Raya’ dinyanyikan untuk dirinya. Namun sayang, keadaan tak mendukungnya untuk mencapai itu. Maka ditanamkannya impian itu dalam diriku. Aku ingin menjadi pemain timnas Indonesia, ingin menjadi tembok kokoh untuk menghalau serangan-serangan dari musuh. Aku ingin menggantikan Ferry Rutinsulu suatu saat nanti. Aku ingin mengharumkan nama bangsa kita lewat sepakbola. Aku ingin mengibarkan merah putih berkibar gagah setinggi-tingginya. Aku yakin Abahku akan sangat bahagia di alam sana, ketika melihatku membela Negara. Dan akan kupersembahkan lagu ‘Indonesia raya’ untuknya”lajutnya.
“aku sadar, tak akan mudah untuk mencapai itu semua. Tak ada waktu untuk berlarut-larut dalam kesedihan. Maka aku akan terus latihan dan latihan. Tak perduli apa pun yang menghadang” ia menghentikan ucapannya. Di tatapnya langit di ujung sana.
“penghubung kita dan impian adalah keberanian untuk bertindak dan percaya kepada impian kita sendiri” ucapnya lagi. “Itulah yang sedang kulakukan sekarang” tambahnya. Aku hanya bisa berdoa dalam hatiku, mendoakan supaya Amat bisa menggapai impiannya. Ku tatap juga langit, terlukis sebuah pelangi yang sangat indah. Malaikat sedang turun untuk menjemput impian Amat, untuk membawanya kehadirat Tuhan.

Malaikat pun Tertawa

Karya: Wahyu Sp.
“hey, kau curang!” aku berteriak menunjuk seorang anak setan yang sedang jongkok di depanku. Ia hanya terkekeh.
“maaf, maaf! Kukira kau tak melihat, ha ha ha” ia hanya tertawa, tanpa merasa bersalah setelah dengan sengaja memindah kelerengnya, untuk mendekatkan ke target kelereng yang lain di dalam segitiga. Aku menjadi semakin jengkel. Kiranya aku mudah untuk dibodohi, ini merupakan penginjakan terhadap harga diriku.
“kurang ajar kau! Emangnya kau anggap aku ini orang buta hah?” hardikku. Namun, ia masih saja terkekeh. Tak menghargai aku sama sekali sebagai warga Negara Indonesia, yang memiliki hak untuk tidak ditertawakan waktu marah. Eh, gak nyambung ya? He he.
“sorry cuy! Aku Cuma mo bercanda kok, gak usah diambil hati” kilahnya, wajahnya yang selalu membuat aku kesal menjadikan aku sulit untuk memaafkannya. Maka pertikaian ini menjadi sengit, bak meletusnya perang dunia ketiga.
“cepat kembalikan kelereng kau ke tempat semula!” kembali kumaki, ia memang suka membuatku marah dengan menjahili aku.
“oke, oke!” maka diambilnya kembali kelerengnya. Mukanya! Mukanya itu sekali lagi membuat aku sangat jengkel. Rautnya masih saja ingin tertawa sekeras-kerasnya namun ditahannya mati-matian, maka apa yang terlihat. Justru membuat mukanya semakin jelek. Jujur sebenarnya aku juga ingin ikut tertawa, menertawakan wajahnya yang lucu setelah kumaki.
“gitu donk, masa main kelereng gak fairplay? Di sepakbola aja ada fairplay” aku mencoba untuk memojokkannya, supaya ia semakin merasa bersalah.
“iya, iya aku ngaku salah”akunya. sekarang ia masuk dalam cengkramanku, maka dalam perang ini kunyatakan ia telah mengibarkan bendera putih dan aku menjadi jawaranya.
“ya udah” balasku memaafkannya “tapi nanti akan kuadukan masalah fairplay ini ke PKSD, supaya kau tak dapat curang seperti ini lagi, he he” lanjutku lagi. Sekarang aku yang terkekeh, merasa sedang di atas angin.
“tega sekali kau yu, sama teman kok gitu. Tapi klo boleh tau, PKSD itu apa san? Kok aku baru dengar ya?” Wawan menampakkan wajah memelasnya tapi juga bingung dengan istilahku.
“ PKSD itu, Persatuan Kelereng Seluruh Dunia” jawabku sok tahu.
“emang, ada yu?” tanyanya lagi tak yakin, kelihatan sekali dia tak percaya.
“ya, mungkin! Ha ha ha” jawabku lagi sekenanya. Aku hanya tertawa melihat wajah Wawan yang terlihat bodoh, memikirkan kata-kataku tadi. Namun aku segera diam, wajahnya kembali terlihat serius, sepertinya dia sedang berfikir keras, seperti ada makhluk halus yang sedang merasuki dirinya. Seketika suasana hening sesaat, aku termenung dan ia tetap berpetualang dalam pikirannya sendiri.
“gak mungkin san. Mana ada PKSD” tiba-tiba suara Wawan segera memecah keheningan. Rupanya yang ia pikirkan dengan keras tadi adalah masalah PKSD, kiranya aku sangat serius dengan ucapanku.
“ha ha ha” aku hanya menjawabnya dengan tawa yang keras, lucunya ia hanya diam, keliahatan sekali ia tak mengerti dengan situasi bahwa aku sedang membodohinya. Polos! Sangat polos. Rupanya akalnya hanya cukup untuk membodohi aku dengan cara klasik, dan tak tanggap bila bermain dengan politik.
###
Aku dan Wawan telah menjadi teman akrab sejak sekolah TK, bahkan sampai sekarang ketika umur kami menginjak sepuluh tahun kami telah menjadi pathner in crime, maka segala akar kejahatan dalam dunia anak-anak, kami lah dalangnya. Ke mana pun kami selalu berdua, di sekolah pun kami duduk sebangku, maka kami juga sudah menjelma bak Batman dan Robin. Wawan telah dikaruniai kelebihan dalam kejahilan, namun ia juga sangat lugu. Maka aku, yang jujur saja mengaku lebih pintar dari Wawan, seharusnya menjadi orang pertama yang memberi gambaran logis apabila rencana kejahilannya sudah menggila dan mulai tak masuk akal.
Wawan tak hanya suka jahil kepada orang, denganku pun ia juga suka jahil. Sebenarnya aku sering ingin marah dan jengkel. Namun, mimik wajahnya selalu membuatku mengurungkan niatku. Sebenarnya aku juga ingin membalas kejahilannya, tapi jika melihat wajahnya yang polos maka aku sering tak tega. Wajahnya itu, selalu seperti meminta untuk dilindungi dan dikasihi.
Baiklah, sekarang aku akan memberi gambaran fisik wawan. Tubuh kurus, pendek, kulit hitam, berambut ikal tak terurus. Maka Wawan terlihat seperti anak kekurangan gizi, layaknya gembel, oleh karena itulah tak salah bila aku menyebutnya anak setan, karena seperti itulah gambaran tentang Wawan yang ditambah oleh otak ganjilnya yang selalu menjanjikan pertualangan yang tak terduga. Wajahnya selalu terlihat sendu, seperti ada sesuatu kesedihan yang ditanggungnya sejak lahir. Maka Wawan seperti memiliki daya magis, yang hanya ia satu-satunya orang yang seperti itu di dunia ini. Sering aku tak dapat menolak apa yang diajaknya, seolah aku hanya bisa mengangguk saja dibuatnya. Di satu sisi aku sebagai orang yang masih sedikit waras ingin menolak ajakannya, namun di sisi lain, raut wajahnya yang sungguh kasihan membuatku luluh, luluhlantak. Lirikan matanya selalu menjanjikan pertualangan yang menantang. Maka tak dapat dipungkiri, aku selalu ikut dengan kemahatololan persekongkolan ini.
Kawan, daya magis Wawan berlanjut sore ini. Ia mengajakku mencuri durian yang jatuh di pulau durian milik pak haji Adul. Akibat kelihaiannya dalam menghasut, bakat yang telah dimilikinya sejak lahir, aku hanya ikut saja apa yang direncanakannya. Padahal, agar kau tahu ya kawan, perkara dengan pak haji Adul bisa runyam urusannya. Pak haji Adul terkenal galaknya seantero kampung, dia selalu membawa Mandau ketika menjaga duriannya. Pak haji Adul bisa menjadi tidak berperikemanusiaan bila tempramennya sedang kumat, apalagi akhir-akhir ini sering sekali duriannya hilang dicuri anak-anak dan beliau tak pernah mendapati pencurinya. Maka secara logis posisi kami sekarang adalah menyerahkan diri sendiri kedalam kubangan yang penuh dengan buaya, tak sembarang buaya, buaya yang tidak makan 3 bulan, sampai-sampai keroncong perutnya terdengar sampai keluar. Pernah kudengar cerita temanku Amar, yang kedapatan mencuri durian pak haji Adul tahun lalu. Ia tak sempat lari karena pak haji Adul secara tiba-tiba, seperti makhluk gaib langsung menarik leher bajunya ketika hendak mengambil durian, maka Amar hanya bisa tersenyum masam—pasrah ketika menengok kebelakang, melihat siapa yang gentayangan. Dan pak haji Adul pun tersenyum dengan penuh kemenangan. Akibatnya fatal, Amar disuruh telanjang namun masih memakai baju. Tak dinyana, Amar harus menanggung malu pulang ke rumah tanpa celana karena celananya disita oleh pak haji Adul. Sialnya lagi, untuk pulang Amar harus menyeberang jalan raya. Kabar perkara Amar yang tertangkap basah—basah kuyup, cepat tersiar ke seantero kampung. Akibat menanggung malu yang tak tertanggungkan, Amar tiga hari tak berani keluar rumah, sekolah pun ia tak mau, bahkan sempat ingin berhenti sekolah. Namun beruntungnya ia dapat diluluhkan oleh wali kelasnya, Ibu Dewi yang memiliki wajah jelita, sejelita Dian sastrowardoyo, yang mengunjunginya ke rumah, merayunya untuk mengibarkan lagi bendera tut wuri handayani di dalam hatinya. Maka besok harinya ia mulai berani untuk kembali pergi ke sekolah. Kekejaman pak haji Adul terbukti sangat tidak berperikemanusiaan, bila perlu bisa dilaporkan ke Komnas HAM.
Sebelum pergi ke pulau durian pak haji Adul, menurut Wawan kami harus mempersiapkan penyamaran supaya pak haji Adul tak bisa mengenali kami. Maka kami membawa 2 potong sarung untuk menutupi wajah kami dan kami pun terlihat seperti ninja, sehingga pak haji Adul tak akan bisa mengenali kami. Sungguh hebat skenario dari Wawan. Kami segera mengendap-ngendap ketika sampai di pulau durian, terlihat pak haji Adul dari kejauhan sedang membakar kayu di depan pondok miliknya. Aku berjalan perlahan, “praakkk” tiba-tiba kakiku terinjak ranting. Segera saja pak haji Adul menoleh ke arah kami, seketika kami berlindung di balik pohon. Ia terus memandangi sekitar, namun tak ada yang terjadi, ia pun melanjutkan aktifitasnya.
Sesekali mataku memandang ke atas, sungguh menakjubkan karena di sana bergelantungan ratusan biji durian bahkan ribuan mungkin, yang menunggu waktu untuk menjatuhkan diri. sungguh pemandangan yang membuat air liurku sampai menetes. Aromanya yang padat, menyengat hidungku. Sungguh sebenarnya aku suka berada di sini, suka mencium bau durian.
Sore ini tidak terlalu berangin sehingga tidak banyak durian yang jatuh, apabila jatuh juga, pasti pak haji Adul yang langsung memungutnya. Namun kami tetap berkeliling kebun, meloncat-loncat dan bersembunyi di balik pohon, sembari berharap ada durian jatuh yang terlewatkan oleh pak haji Adul. Telah 2 kali kami berkeliling kebun namun hasilnya tetap nihil, “debbukkkkk” terdengar suara durian jatuh, jaraknya sekitar 30 meter dari kami, namun dari kejauhan pak haji Adul sudah berjalan ingin mengambilnya. Aku hanya pasrah, karena apabila kuambil maka kami akan dikejar pak haji Adul. Aku memperhitungkannya dengan matang, maka aku tidak apa-apa bila perburuan hari ini tak membawa sebiji durian pun. Namun pikiran dan pertimbangan yang berbeda dalam otak ganjil Wawan, mungkin karena saking inginnya ia memakan durian maka daya pikir logisnya mulai tak berfungsi. Dan dengan sekejap ia berlari ingin mengambil durian, pak haji Adul yang melihat duriannya akan diambil orang lain, tak terima. Pak haji Adul pun ikut berlari. Terjadilah perebutan siapa yang akan dapat mengambil durian itu lebih dahulu. Sebenarnya selangkah lagi durian itu dapat diambil oleh pak haji Adul, namun dengan sekejap Wawan mencurinya. Maka Wawan lah pemenang dalam pertarungan ini. Ia bisa berlari sangat gesit, menembus angin. Sebenarnya pak haji Adul juga seorang sprinter, namun itu dulu, dulu sekali, pada tahun jadul 70-an. Kini Ia tak bisa membohongi usianya yang sudah semakin senja.
Aku hanya termangu ketika melihat Wawan yang telah berhasil mengambil durian pak haji Adul. Terpesona lebih tepatnya. Sepertinya otak Wawan telah diracuni nafsu tupainya untuk makan durian. Maka sekarang kami harus berlari sekencang-kencangnya, karena pak haji Adul sangat kesal pada kami. “bandiiiiiiittttttttttttt” teriaknya kesal. Kami telah berhasil mencabik-cabik harga dirinya. Celakanya ia tak terima, maka kami dikejar habis-habisan. Tuhan terbukti selalu adil kepada hambanya. Kami pun, entah mengapa, mengambil jalan yang hanya akan menyudutkan kami. Sebenarnya aku tak ingin mengikuti jalur ini, namun aku sekali lagi terlena oleh ajakan Wawan. Seharusnya aku bisa menjadi penyeimbang kepanikannya. Mungkin karena yang dipikirkannya hanya bagaimana untuk lari secepat mungkin tapi tak mempertimbangkan ke mana ia harus lari. Kami tersudut di tepi sungai, tak bisa lari kemana-mana. Mati semaput. Sawah yang telah di panen, kering, Menjadikan pengejaran kami menjadi sangat mudah. Hamparan sawah yang luas, di samping pulau durian tadi. Tak ada tempat persembunyian untuk kami. Tak jauh dari kami, menumpuk jerami padi yang mengering. Aku menyumpah-nyumpah kepada Wawan.
“brengsek kau wan, setelah nekat mengambil durian pak haji Adul. sekarang kau bawa aku ke dalam posisi yang rumit ini” hardikku.
“salahmu, kenapa kau ikuti aku?” jawabnya acuh.
“salahku? Lidah memang tak bertulang, mudah sekali kau berucap. Andai kau lari ke arah hutan, maka sekarang kita telah lolos” hardikku lagi dengan lebih keras. Ia hanya terkekeh, entah apa yang sedang dipikirkannya di dalam otak ganjilnya.
“nasi sudah menjadi bubur kawan!, maka nikmati saja permainan ini” jawabnya santai, tetap terkekeh. Ingin sekali aku menghardiknya lebih keras lagi, namun percuma, tak kan membuat posisi kami menjadi lebih baik. Ditambah lagi otaknya yang bebal untuk menerima hardikan.
“oke, oke. Sekarang kau bertanggung jawab untuk pelarian kita ini. Bagaimana caranya kita bisa lolos sekarang? Apa pun idemu aku akan ikut” ucapku, aku hanya pasrah. Ia diam sesaat, ia menatap tumpukan jerami padi. Tiba-tiba di atas kepalanya menyala sebuah lampu pijar, ide brilian pun hinggap dalam kepalanya. Ide brilian yang meloloskan kami sekaligus menghukum kami.
“eemmm, bagaimana kalau kita bersembunyi di dalam tumpukan jerami itu. Nanti ketika hari mulai gelap, kita akan keluar dan pulang ke rumah” jelas Wawan. aku pun berpikir sejenak, tak ada jalan lain. Maka aku pun menyetujui ide Wawan. Tak menunggu lama kami pun langsung menulusup di tumpukan jerami. Terdengar suara telapak kaki, tiba-tiba saja sekarang berdiri pak haji Adul, hanya lima meter dariku. Nafasku tercekat, aku berusaha diam tak bergerak agar persembunyian ini berhasil. Kilauan mata Mandau ditangan pak haji Adul memantulkan cahaya matahari sore. Lama sekali ia berdiri di dekatku. Aku menjadi merinding, aku membayangkan penderitaan yang akan kami tanggung andai kami ketahuan. Ia pun berjalan ke tepi sungai untuk melihat-lihat.
“brengsek. . ., mereka menyembrang sungai” ucapnya sendiri ketika melihat telapak kaki kami di tepi sungai. Mendengar ucapannya itu aku menjadi lega, persembunyian kami berhasil. Ia putus asa, dan kembali berjalan menuju pulau duriannya. Kami lolos dari lubang jarum, berkat ide brilian Wawan. Sungguh ia merupakan manusia pilihan Tuhan yang dikaruniai otak yang cemerlang, aku saja tak sampai memikirkannya.
Hari mulai gelap, matahari sudah mencium bumi disebelah barat. Kami pun pulang ke rumah dengan kemenangan. Kemenangan karena berhasil mencabik-cabik harga diri pak haji Adul. Kemenangan karena pak haji Adul tak akan bisa menangkap kami karena ia tak mengenali kami. Sungguh brilian juga ide Wawan untuk memakai sarung di kepala kami, sehingga wajah kami tak terlihat ketika dikejar-kejar tadi, karena kami hanya terlihat seperti ninja. Andaikan ada olimpiade sains ilmu kejahilan, maka medali emas layak dikalungkan di leher wawan karena aku yakin ia akan menjadi juaranya.
Setelah kami sampai rumah, aku langsung mandi. Sungguh tadi merupakan pertualangan yang tak bisa dilupakan. Setelah aku mandi, tiba-tiba saja seluruh tubuhku menjadi gatal. Kulitku memerah. Mungkin ini akibat kami bersembunyi di tumpukan jerami tadi. Sekarang aku sibuk menggaruk-garuk tubuhku. Rupanya hal yang sama juga dialami Wawan, terlihat ia keluar rumah juga sambil menggaruk-garuk. Kami hanya sama-sama tersenyum kecut. Berhasil lolos dari pak haji Adul, namun kami tak bisa lolos dari gatalan. Mungkin ini hukuman bagi kami yang mencuri durian pak haji Adul. Tuhan sungguh maha adil, kami memang berhasil mencabik-cabik harga diri pak haji Adul, namun tidak untuk harga diri-Nya. Tuhan selalu memiliki caranya sendiri, yang tentunya sangat misterius. Hal yang pada awalnya kami kira merupakan jalan untuk lolos dari hukuman, rupanya merupakan bagian dari hukuman itu sendiri. Kami tetap sibuk mengagaruk-garuk tubuh kami, kulit memerah karena melepuh. Malaikat pun tertawa. Menertawakan kami yang telah tertipu. Ditipu mentah-mentah.

Mimpi yang Nyata

Karya: Aisyah
Aneh, mistik, itulah suasana yang kulihat dan kurasakan. Cahaya berwarna ungu gelap serta kabut tipis, menyelimuti di setiap sudut tempat. Pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat, tak lagi terlihat berwarna hijau tua ataupun kuning seperti biasanya, tetapi terlihat agak kehitam-hitaman, karena berbaur dengan rona hari yang ungu gelap. Tak ada suara burung ataupun suara orang, semuanya hening dan sunyi. Entah tempat apa ini? Desa apa ini? Aku pun tak tahu. Hanya saja, tahu-tahu aku sudah berdiri mematung di tempat ini, di bawah rimbunan pohon bambu.
Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat rumah panggung yang besar. Berbahan dari kayu. Melihat dari bagian depan rumah, rumah itu dibangun mengikuti bentuk huruf L. dibagian terasnya terjejer kursi-kursi dari kayu dan rotan.
“krrieeek. . . . .!” suara rintihan engsel pintu, terdengar sampai ke telingaku. Aku langsung memandang ke arah pintu. Perlahan pintu merengggang dan akhirnya terbuka lebar. Nampaklah seorang laki-laki bertubuh kekar, mempunyai tinggi badan kira-kira di atas 175 cm, dia melangkah keluar sambil menundukkan wajahnya. Kemudian duduk di salah satu kursi yang berjejer panjang.
Aku berjalan maju mendekati rumah itu, kuamati wajah laki-laki yang terus menunduk itu. “prraaaakk!” sebuah bunyi terdengar, langkahku langsung terhenti. Perlahan kutundukkan kepalaku, mataku manatap ke bawah, kuangkat kakiku yang kanan.
“huh!” aku langsung menarik nafas, lega. Ternyata kakiku menginjak ranting bambu kering. Padahal tadi, jantungku sudah mau copot rasanya, Gara-gara bunyi yang mengagetkan itu. Aku kembali mengangkat wajahku. “oh, Tuhan!” kini rasanya jantungku kembali ingin lepas dari kerangka tubuh. Laki-laki itu memandangku, rupanya suara ranting yang patah tadi terdengar olehnya. Aku jadi gelagapan, matanya yang bulat berwarna coklat menatap tajam ke arahku. Rambutnya yang hitam pekat, beradu gelap dengan suasana. Aku melihat sebuah tahi lalat kecil di dekat matanya, di bawah alis.
“oh, , ,” aku mendesah pelan. Kututup mulutku. Seakan-akan menghindari polusi udara. Tubuh itu, wajah itu, tahi lalat itu, membuatku menghembus nafas panjang beberapa kali. Karena yang kutahu, pemilik lekuk-lekuk tubuh itu adalah Rifki. Ya Rifki, calon suamiku.
Aku berlari kecil bermaksud menghampirinya. Namun, di saat aku sampai di bibir teras. Dia masuk ke dalam rumah, seperti menghindari aku. Aku tak perdulu dengan sikapnya, aku terus saja melangkah ke tuas, ku dekati daun pintu yang terbuka. Kupandangi ke seantero dalam rumah, dia tak ada. Aku jadi penasaran dibuatnya. Aku masuk ke dalam rumah, tapi dia benar-benar tidak ada di dalam rumah ini. Di kamar? Ah, mana mungkin, rumah ini tak punya kamar. Di dapur? Ini juga tak mungkin, karena rumah ini dibangun tak seperti rumah sekarang. Jika pintu rumah dibuka, dari depan pun terlihatlah seluruh perabotan rumah tangga hingga ke dapur, lalu ke mana dia? Aku bertanya kepada diriku sendiri.
Belum habis rasa bingungku, tiba-tiba terdengar deru bus dari luar rumah. Aku membalikkan tubuhku ke arah pintu, memandang ke arah sumber suara. “ya Allah. . .!” kulihat dia sudah berdiri di pinggir jalan dan siap masuk ke dalam bus. Dari mana dia bisa keluar dari rumah ini? Mengapa tiba-tiba dia sudah berada di pinggir jalan? Ah, pertanyaan-pertanyaan dalam hatiku, membuat kepalaku terasa sedikit pusing.
Tak ingin membuang waktu. Aku segera keluar dari rumah, berlari menyusulnya. Namun sayang seribu kali sayang. Baru saja aku sampai di pinggir jalan itu, bus telah berlalu bersama RIfki. Aku duduk tersungkur tak berdaya, Rifki meninggalkanku. Perlahan Kristal-kristal bening laksana mutiara menetes dari pelupuk mataku. Dan tak lama kemudian, berubah menjadi aliran sungai yang mengalir hangat,lembut membasahi pipiku.
Tak tahu harus melakukan apa, aku membaringkan tubuhku yang terasa lelah, di atas jalan yang belum sempurna di aspal. Kubiarkan batu-batu kerikil bersentuhan dengan kulitku. Mengalirkan hawa dinginnya, merasuk masuk kedalam tubuh melalui celah pori-pori kulit. Kupejamkan mataku, semuanya pun seketika berubah menjadi gelap.
“Voni, bangun. . .!”
“ya” sahutku, aku langsung bangun beralih ke posisi duduk, karena saking kagetnya. Bersamaan dengan itu aku membuka mata. “hah? Apa yang terjadi?”tanyaku dalam hati. Mataku celingak-celinguk menatapi di sekitarku, lemari, foto Rifki,boneka beruang, semuanya ada di dekatku. Berarti ini kamarku! Lalu, mana tempat aneh tadi? Mana rumah besar tadi? Mengapa semuanya berubah jadi kamarku? Kukucek-kucek mataku, tapi tetap saja yang kulihat adalah kamarku. Aku menoleh ke samping, ternyata ada mamaku, beliau tersenyum padaku. Ya ampun, saking linglungnya aku tidak sadar kalau ada mama. Jadi, rumah besar itu hanya mimpiku saja.
“hey, hey,”mama mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku. “kamu kenapa?” lanjut mama lagi.
“aku gak kenapa-napa ma” sahutku.
“kamu sakit?” Tanya mama lagi. Aku menggelengkan kepala.
“ma. .!”
“ya?” sahut mama.
“tadi malam aku bermimpi aneh, aneeeeeh banget” mama mengerutkan kening, alisnya terangkat.
“mimpi apa?” Tanya mama ingin tahu. Aku pun menceritakan semuanya pada mama tentang mimpiku. Mama tersenyum mendengar ceritaku, dibelainya rambutku.
“sudahlah, tak perlu dipikirkan. Mimpi itu Cuma bunga tidur” kata mama menenangkanku.
“ya” jawabku.
“kalau kamu memikirkannya, itu hanya menjadi beban pikiran kamu. Nanti kamu bisa sakit, bagaimana dengan pernikahanmu nanti? Kan dua minggu lagi akan dilaksanakan. Kamu kan kalau sakit, jarang banget sembuhnya cepat” lanjut mama.
Aku tersenyum mendengar ucapan mama. Ya, dua minggu lagi pernikahanku akan dilaksanakan. Ah, rasanya aku sudah tak sabar lagi menunggunya. Menunggu hari persandinganku dengan Rifki.
###
“tet tet. . .tet tet” handphoneku berdering. Aku segera mengambilnya yang tergeletak di atas meja. Satu pesan kuterima, aku langsung membukanya.
“Von, cepat susul mama ke RSUD Tamiang Layang. Rifki kecelakaan dan sedang dirawat di sini” mataku terbelalak membaca sms dari calon mertuaku. Segera kuberitahu mama.
“aku harus ke sana sekarang” kataku pada mama.
“mama ikut Von, mama kuatir kalau kamu sendirian ke sana. Kamu tahu sendiri jalan dari Ampah ke Tamiang Layang sangat sepi, jarang ada rumah orang, apalagi sekarang sudah malam” ucap mama. Aku hanya bisa mengangguk. Segera kukeluarkan kendaraan dari garasi. Kemudian kami langsung meluncur menuju Tamiang Layang.
###
“Gimana keadaan Rifki ma?” tanyaku pada calon mertuaku yang menunggu Rifki di luar kamar rumah sakit.
“mama juga belum tahu, dokternya belum keluar” lirih mama Rifki.
“Rifki kecelakaan di mana ma?” lanjutku
“di desa Patung. Kata Herman sepupunya Rifki yang kebetulan tinggal di sana, Rifki bertabrakan dengan sesame pengendara motor, di dekat simpang jalan menuju desa Pangkan. Pengendara itu ingin menyebrang ke sebuah gang, tiba-tiba Rifki datang dari arah Saing mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Akhirnya keduanya pun bertabrakan, Rifki jatuh terpelanting, kepalanya membentur aspal jalan”
“dug ! !” jantungku berdegup kencang. “membentur kepala? Oh! Tidak mungkin. Luka di bagian kepala ini pasti parah. Karena di sanalah titik kepekaan luka bersarang” kata hatiku. Aku duduk di samping mamanya Rifki, dan mamaku duduk di sampingku. Kutatap wajah mamanya RIfki, matanya merah lembab, karena terlalu banyak menangis.
“kita doakan semoga Rifki baik-baik saja, ma!” ucapku menenangkan. Kuhapus bayangan seram tentang keadaan Rifki. Kutatap arlojiku, jam sepuluh malam. Berarti sudah dua jam aku menunggu di sini. Aku memejamkan mata, rasa ngantuk mulai menyerangku. Namun aku segera terbangun ketika mendengar suara engsel pintu kamar rumah sakit yang dibuka. Dokter keluar, mukanya bercucuran keringat. Aku beranjak menghampirinya.
“bagaimana keadaan Rifki dok?” tanyaku segera. Kulihat raut wajah yang lain tersirat pada dokter.
“mmmh. . . luka bagian kepala itu mengakibatkan pendarahan yang sangat parah, kami sudah berusaha semampu kami” lirih dokter itu, Nampak rasa bersalah hinggap di wajahnya. Kelihatannya ia agak ragu untuk melanjutkan ucapannya. “tapi maaf. . .”ucapannya terhenti ketika aku tiba-tiba menerobos masuk ke kamar tempat Rifki terbaring. Aku sadar kalau Rifki telah tiada. Saat berada disampingnya, segera tangisku meledak, dadaku terasa sesak. Kuhampiri tubuh jangkung yang kini terpisah dari rohnya, kuusap keningnya, wajah tampannya terdiam kaku, dingin.
Mamaku dan mama Rifki berdiri di belakangku. Keduanya tenggelam dalam kesedihan. Airmata senantiasa mengalir di pipi. Ketika aku membalikkan badan, mama langsung memeluk tubuhku. Seakan mengerti dengan suasana hati dan perasaanku, bahwa saat ini aku tak kuat menghadapi semuanya.
“kamu sabar ya! Semua ini hanyalah cobaan, sayang. Kamu harus tetap tegar” ucap mama sambil mengelus rambutku.
“tapi ma, Voni gak mau kehilangan Rifki. Dia sangat berarti buat Voni” balasku, airmata di pipiku semakin mengalir deras.
“Voni, mama ngerti, sayang. Mama ngerti. Tapi kamu harus ingat, semua ini sudah takdir. Jika Rifki benar-benar sangat berarti buatmu. Wajar saja, jika dia kini hilang dan jauh darimu. Karena kita tidak akan pernah menemukan hidup kita, sebelum kita kehilangan sesuatu yang berarti, yang kita miliki” kata mama menguatkanku. Aku terdiam. Aku sudah tak tahu harus melakukan apa. Aku lelah, mungkin perkataan mama ada benarnya.
###
Malam kematian Rifki seperti menerbangkan mimpi-mimpi yang sebentar lagi menjadi kenyataan. Pernikahan, ah! Semuanya kini hanya tinggal sebuah mimpi. Di kamar ini, aku sendiri, menatap wajah Rifki di balik sehelai kertas.
Rifki tersenyum di bawah rindangnya pohon bambu. Aku kembali menangis. Foto yang kuambil sewaktu liburan ke Banjarmasin satu tahun yang lalu. Melayangkan ingatanku kembali pada mimpi malam kemaren. Sejenak kubayangkan lagi mimpi itu. Oh, semuanya laksana mimpi berbuah kenyataan, mimpi yang kini terwujud menjadi kenyataan. Bus dalam mimpiku ternyata jelmaan sebuah keranda mati yang mengantar Rifki ke tempat peristirahatan terakhir.
Aku mengambil buku harian di laci meja. Kulepas foto Rifki dari bingkai. Kutempel foto Rifki di buku harian kecil. Di halaman belakangnya ku tulis sebuah puisi,

Saat kau meninggalkanku,
Mimpi lenyap. . .
Di batu nisan terukir namamu,
Meninggalkan satu cinta yang begitu dalam
Tinggallah kini daku sendiri, menempuh hari-hari
Kelam. . .
Kau tahu?
Airmataku sudah tak mampu lagi
Mengungkapkan perasaanku
Hancur hidupku!
Melepas dirimu
Dari sisi, untuk selama-lamanya
Voni Syahada, 14 januari 2011

Kubandingkan tubuhku, kupeluk erat buku harianku. Kupejamkan mataku, kegelapan menghanyutkan diriku, menghanyutkanku ke ketidaksadaran.

Menertawakan Dunia

karya: Norhamidah

“pulang sekolah nanti kita ke warung seberang yuk !” ajak Sisi.
“ngapaen ?” Tanya nayla dengan nada sewot. “uang jajan gue udah ludes !” sambungnya lagi.
“ludes. . .ludes. . . emangnya tadi loe kemalingan uang jajan, apa? Tenang aja ciin. . . ntar nich gue yang traktir” ujar Sisi dengan soksoan.
“hmmm. . yang bener loe ? nggak bo’ong kan ?” ucap Dina kurang percaya.
“beneran, ntar gue yang bayar” jawab Sisi. “gini nich enaknya kalo punya bokap yang, yaa bisa dibilang sukses. Apa aja tinggal minta and sesekali donk mentraktir temen-temen” tambahnya lagi dalam hati dan sambil nyengir .
“woy, cengar cengir gak jelas aja loe dari tadi ! setengah miring ya loe ?” tegur Dina. “tapi kalau dipikir-pikir, aneh juga ya? Sisi dapat uang dari mana ya ? tumben mau traktir gue ama nayla. Kerja aja nggak” pikir Dina sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak sama sekali gatal dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
###
“tet. . . tet. . . teeeet” bel sekolah sudah berbunyi, yang artinya para murid akan pulang. Begitu pun juga dengan kelas Sisi. Suasananya panas dan membara, tanpa basa-basi Sisi menarik tangan kedua temannya, lalu mereka menyeberang jalan langsung tanpa ada kendaraan yang lewat di depan mereka.
Sesampainya di warung makan, Sisi pun langsung memesan makanan kepada salah seorang pelayan warung. Sambil menunggu pesanannya datang, rupanya mereka bertiga sedang membicarakan sesuatu. Biasalah kalau cewek-cewek remaja yang lagi puber agak jauh beda dengan anak-anak. Hampir kurang lebih sepuluh menit mereka menunggu, akhirnya pesanan yang mereka tunggu-tunggu sudah siap untuk dimakan dan nagkring di depan mata, namun masih panas. Tanpa pikir panjang, mereka pun melahap makanan yang ada di meja. Tanpa peduli kalau makanan tersebut masih panas, maklum kalau siang-siang perut sudah pada kosong plus keroncongan.
###
Keesokan harinya, Sisi tidak masuk sekolah. “kenapa ya?” kedua sahabatnya pun bertanya-tanya. Tumben Sisi tidak nongol-nongol juga dari tadi. Tak terasa bel berbunyi. Semua murid duduk rapi di kursinya masing-masing. Hanya satu kursi yang masih kosong, di depan Nayla dan Dina, yaitu kursi Sisi. Ketika absen pun Sisi berketerangan alpa. Ya sudah lah.
“Bla. . .bla. . .bla. . .” penjelasan ibu Tuti, menerangkan tentang pelajaran Biologi. Ruangan pun terasa hening.
Hari berikutnya Sisi masuk sekolah, dengan pakaian yang rapi dan bisa dibilang oke. Sisi pun berangkat ke sekolah dengan menggunakan motor yang setia dikendarainya. Ketika memasuki gerbang, rupanya masik terbuka. Sesudah motornya nangkring di parkiran, ia pun langsung nyosor ke kelasnya. Namun saat ia masuk, ada dua pasang mata yang melototinya.
“Neng. .! kok kemaren loe gak masuk sekolah sih?” Tanya Dina.
“Gue malu” jawab Sisi.
“malu kenapa sih? Aneh banget loe” sambung Nayla.
“Biasa. . .”jawab Sisi lagi acuh.
“biasa kenapa?” lanjut Nayla.
“sekarang gue mau Tanya sama loe, loe tau kan gue alergi sama makanan apaan?”
“alergi sama udang!” jawab Dina dan Nayla serentak. Sisi pun manggut-manggut, bukannya ngantuk, tapi mengiyakannya. “jadi loe kemaren itu memesan makanan yang ada udangnya?” lanjut Dina lagi.
“ya” balas Sisi ringkas.
“gimana ceritanya tuh? Kok bisa sampe lupa?” sambung Nayla.
“namanya juga orang kelaparan neng, he he” jawab Zhizhi enteng.
###
“teeet. . .teeet. . .” waktu telah menunjukkan pukul satu siang. Waktunya sekolah berakhir. “eh loe berdua! !” ujar Sisi lantang dan keras, memanggil Dina dan Nayla yang jauh meninggalkannya. Membuat orang-orang yang mendengarnya berbalik menoleh Sisi dan tercengang sebentar.
“hei, ada apa?” ujar Dina.
“nanti sore kita ngumpul-ngumpul di rumah gue yuk! Mumpung bo-nyok gue lagi gak ada di rumah” ajak Sisi ketika sudah berjalan mendekat.
“insya Allah” jawab Dina dan Nayla serentak.
###
“tok . . .tok. . .tok. . .”. Klek! Berdiri wanita setengah baya dengan memakai baju daster dan serbit diletakkan di bahunya.
“mau cari siapa ya?” Tanya wanita itu dengan suara lembut.
“Sisi ada gak bi?” Tanya Dina.
“ada non. Hmm. . . monggo, silahkan masuk!”
“makasih”
“tunggu ya non, saya panggilkan non Sisinya”
“iya bi!”jawab mereka serentak. Nayla dan Dina menunggu di ruang tamu, sedangkan bibi tadi memanggil Sisi yang sedang berada di dapur. Tak berapa lama Sisi pun langsung datang menemui Nayla dan dina. Terjadilah ajang senang-senang Abg. Semua pun cepat berlalu.
“krringg” jam panda Sisi berdering. Awalnya Sisi membuka matanya sedikit, namun ketika melihat jarum jam telah duduk di angka enam lewat setengah.
“aku kesiangan!!!” teriak Sisi. Langsung ia meloncat ke kamar mandinya dan tak berapa lama ia meloncat lagi kembali ke kamar. Mencari baju seragamnya, tak ayal akibat ulahnya itu, kamarnya menjelma menjadi sebuah kapal pecah. Semua persiapan ke sekolah dilakukannya dengan sekejap.
“ya ampun, tinggal 15 menit lagi. Harus cepat-cepat nih!!!” ucapnya ketika melihat jam di tangannya. Selanjutnya ia langsung meloncat menuju meja makan untuk memakan sepotong roti dan dengan sekejap ia sudah ada di depan rumah untuk siap mengendarai motornya. Ia langsung terbang menuju sekolahnya dengan kecepatan tinggi.
“upps!” ucapnya pasrah ketika melihat gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Di dekatinya penjaga sekolah, dengan memasang wajah memelas gerbang pun terbuka dengan mudahnya. Selesai melalui gerbang depan, Sisi langsung menuju kelasnya.
Dengan rasa deg-degan SIsi masuk ke kelas, namun ia langsung disambut oleh omelan guru. Namun syukurnya ia tetap bisa mengikuti pelajaran seperti biasa walaupun setelah belajar ia dijanjikan oleh sebuah hukuman. Hukuman yang membuat Sisi lumayan kapok dan tersiksa. Ia di suruh untuk membersihkan WC setelah pulang sekolah.
“Si! Kok loe terlambat sih? Emangnya kenapa?” Tanya Dina sambil mendekati Sisi.
“kesiangan buu. . .”
“ouh. . .” balas Dina dengan memoncongkan mulutnya.
“iya” lanjut Sisi “eh, seru banget ya kemaren?” sambungnya.
“seru?” jawab Nayla bingung “Seru apaan?”
“kemaren kan kita ngumpul di rumah gue. Masa kalian udah lupa?” cerocos Sisi.
“ya ampun. . .” ucap Dina terkejut.
“ada apa Din?” Tanya Sisi dan Nayla serentak.
“kemaren gue lupa ke rumah loe Si! Maaf ya!” jawab Dina.
“hah? Sama! Kemaren gue bantuan nyokap bikin kue, jadi lupa deh” cerocos Nayla.
“hmm, jangan becanda ya kalian?” balas Sisi tak yakin.
“yah, berarti gue mimpi donk!” seloroh Sisi. Nayla dan Dina pun pecah dalam tawa. Menertawakan Sisi yang ceroboh dan pelupa. Menertawakan betapa lucu sebenarnya persahabatan mereka. Sisi juga ikut tertawa, walaupun ia sadar kalau sebenarnya yang ditertawakan adalah dia sendiri. Semuanya terbuai untuk menertawakan dunia.